Aturan puasa dalam agama Islam
Dalam agama Islam, aturan puasa itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban puasa itu ditetapkan di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi Suci biasa melakukan puasa sunnat pada tanggal 10 bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1)
Jadi asal mula adanya aturan puasa dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi Suci masih di Makkah. Tetapi menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar hari itu dijadikan hari puasa (Bu. 30:69).
Peraturan universal
Dalam Qur’an Suci, bab puasa hanya dibicarakan dalam satu tempat, yaitu dalam ruku’ 23 Surat al-Baqarah saja, walaupun di lain tempat ada pula uraian tentang puasa, tetapi sebagai fidyah, artinya tebusan dalam suatu perkara.
Ruku’ tersebut diawali dengan pernyataan aturan puasa adalah aturan universal: “Wahai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan kepada kamu sebagaimana diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjaga diri dari kejahatan” (2:183). Benarnya uraian ini, yakni puasa “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, ini dibuktikan oleh sejarah agama. Hampir semua agama besar yang diturunkan di dunia terdapat aturan puasa, walaupun tak sama tekanannya dan tak sama pula bentuk dan motifasinya. “Cara dan motifnya berbeda-beda tergantung kepada iklim, kebangsaan, peradaban dan keadaan lain, tetapi sulit sekali untuk menyebut puasa suatu aturan agama yang samasekali tak dikenal” (Ency. Bri. bab Puasa).
Hanya agama Kong Hu Cu sajalah yang menurut salah seorang penulis Encyclopaedia Britannica tak mengenal aturan puasa. Agama Zaratustra sering juga disebut sebagai agama yang tak mengenal puasa, “menyuruh kepada para pendeta supaya sekurang-kurangnya menjalankan puasa lima tahun sekali”. Pada dewasa ini agama Kristen tak begitu menganggap perlu menjalankan ibadah puasa, akan tetapi Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari dan menjalankan puasa pada hari Penebusan sebagai orang Yahudi sejati, melainkan pula menyuruh muridnya supaya menjalankan puasa. Sabdanya: “Dan apabila kamu puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik dengan muramnya … Tetapi engkau ini, apabila engkau puasa, minyakilah kepalamu, dan basuhlah mukamu” (Matius 6:16-17).
Terang sekali bahwa murid beliau menjalankan puasa, tetapi tak begitu kerap seperti orang-orang Baptis, yang pada waktu ditanyakan mengenai itu, beliau menjawab bahwa mereka akan seringkali menjalankan puasa setelah beliau mangkat (Lukas 5:33-35). Dalam Injil diuraikan bahwa orang-orang Kristen zaman permulaan menjalankan puasa (Kisah Rasul-Rasul 13:2-3; 14:23). Bahkan Santo Paulus pun berpuasa (2 Korintus 6:5; 1:27).
Pengertian baru yang diketengahkan oleh Islam
Pernyataan Tuan Cruden dalam kitab Bible Concordance, bahwa semua umat hanya menjalankan puasa “pada waktu berkabung, dukacita dan kemalangan”, ini diperkuat oleh banyak fakta. Pada umumnya, di kalangan kaum Yahudi, puasa itu dijalankan sebagai tanda berkabung dan dukacita. Misalnya Nabi Dawud dikatakan menjalankan puasa tujuh hari pada waktu puteranya yang masih kecil sakit (Kitab Samuel II, 12:16, 8), demikian pula puasa sebagai tanda berkabung diuraikan dalam Kitab Semuil I, 31:13 dan di tempat lain.
Selain Hari Penebusan, yang oleh syari’at Musa ditetapkan sebagai Hari Puasa (Kitab Imamat Orang Lewi 16:29), yang intinya agar orang-orang merendahkan hatinya dengan berpuasa, sedang para pendeta menebusi mereka agar mereka suci dari dosa. Masih ada lagi beberapa hari puasa yang dipopulerkan setelah Hari Pembuangan, sekedar untuk “memperingati kejadian-kejadian yang menyedihkan tatkala kerajaan Yudah dihancurkan” (En. Br.), di antaranya, ada empat hari puasa yang dijalankan secara tertib, “untuk memperingati permulaan dikepungnya kota Yerusalem, bedahnya kota itu, dihancurkannya Kanisah, dan dibunuhnya Gedaliah” (En. Br.). Jadi sudah menjadi kebiasaan bahwa kesusahan atau peristiwa yang menyedihkan diperingati dengan puasa. Hanya puasa Nabi Musa sebanyak 40 hari, yang teladan ini kelak kemudian diikuti oleh Nabi ‘Isa, ini bukan puasa untuk memperingati dukacita, melainkan puasa yang dijalankan sebagai persiapan untuk menerima wahyu. Agama Kristen tak mengetengahkan pengertian baru tentang puasa. Sabda Yesus Kristus bahwa para murid beliau akan kerap menjalankan puasa setelah beliau mangkat, ini hanya memperkuat pengertian kaum Yahudi tentang puasa yang dihubungkan dengan dukacita dan berkabung.
Agaknya yang menjadi dasarnya pengertian tentang perbuatan orang untuk secara sukarela menjalankan penderitaan dalam bentuk puasa pada waktu terjadi kemalangan dan dukacita, ialah untuk meredakan murka Tuhan dan untuk memohon kasih-sayang-Nya. Agaknya pengertian inilah yang lama kelamaan berkembang menjadi pengertian bahwa puasa adalah perbuatan untuk menebus dosa, karena, orang beranggapan bahwa kemalangan dan malapetaka itu disebabkan karena dosa, dengan demikian puasa merupakan perwujudan lahir adanya perubahan batin dengan jalan tobat.
Hanya dalam agama Islam sajalah puasa berkembang menjadi memiliki arti yang tinggi. Islam menolak samasekali pengertian puasa untuk meredakan murka Tuhan atau memohon kasih sayang Tuhan dengan menjalankan penderitaan secara sukarela; dan sebagai gantinya, Islam mengetengahkan aturan puasa yang harus dijalankan secara teratur dan terus menerus, yang ini sebagai sarana untuk mengembangkan daya-daya batin manusia, seperti halnya shalat, tanpa memandang keadaan orang-seorang atau bangsa, apakah dalam keadaan senang atau susah. Walaupun di dalam Qur’an Suci diuraikan mengenai puasa yang dijalankan sebagai tebusan (fidyah), ini hanyalah merupakan alternatif dari perbuatan kedermawanan, yaitu memberi makan kepada kaum miskin atau memerdekakan budak belian.
Adapun aturan puasa dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen, dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri dari kejahatan (tattaqun)”. Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk pada dirinya (R).
Akan tetapi selain arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham (ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban. Menurut bahasa Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin)” (45:19). “Allah mencintai orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin” (7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang baik” (38:49). Masih banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an Suci, orang muttaqi ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.
Dalam agama Islam, aturan puasa itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban puasa itu ditetapkan di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi Suci biasa melakukan puasa sunnat pada tanggal 10 bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1)
Jadi asal mula adanya aturan puasa dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi Suci masih di Makkah. Tetapi menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar hari itu dijadikan hari puasa (Bu. 30:69).
Peraturan universal
Dalam Qur’an Suci, bab puasa hanya dibicarakan dalam satu tempat, yaitu dalam ruku’ 23 Surat al-Baqarah saja, walaupun di lain tempat ada pula uraian tentang puasa, tetapi sebagai fidyah, artinya tebusan dalam suatu perkara.
Ruku’ tersebut diawali dengan pernyataan aturan puasa adalah aturan universal: “Wahai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan kepada kamu sebagaimana diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjaga diri dari kejahatan” (2:183). Benarnya uraian ini, yakni puasa “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, ini dibuktikan oleh sejarah agama. Hampir semua agama besar yang diturunkan di dunia terdapat aturan puasa, walaupun tak sama tekanannya dan tak sama pula bentuk dan motifasinya. “Cara dan motifnya berbeda-beda tergantung kepada iklim, kebangsaan, peradaban dan keadaan lain, tetapi sulit sekali untuk menyebut puasa suatu aturan agama yang samasekali tak dikenal” (Ency. Bri. bab Puasa).
Hanya agama Kong Hu Cu sajalah yang menurut salah seorang penulis Encyclopaedia Britannica tak mengenal aturan puasa. Agama Zaratustra sering juga disebut sebagai agama yang tak mengenal puasa, “menyuruh kepada para pendeta supaya sekurang-kurangnya menjalankan puasa lima tahun sekali”. Pada dewasa ini agama Kristen tak begitu menganggap perlu menjalankan ibadah puasa, akan tetapi Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari dan menjalankan puasa pada hari Penebusan sebagai orang Yahudi sejati, melainkan pula menyuruh muridnya supaya menjalankan puasa. Sabdanya: “Dan apabila kamu puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik dengan muramnya … Tetapi engkau ini, apabila engkau puasa, minyakilah kepalamu, dan basuhlah mukamu” (Matius 6:16-17).
Terang sekali bahwa murid beliau menjalankan puasa, tetapi tak begitu kerap seperti orang-orang Baptis, yang pada waktu ditanyakan mengenai itu, beliau menjawab bahwa mereka akan seringkali menjalankan puasa setelah beliau mangkat (Lukas 5:33-35). Dalam Injil diuraikan bahwa orang-orang Kristen zaman permulaan menjalankan puasa (Kisah Rasul-Rasul 13:2-3; 14:23). Bahkan Santo Paulus pun berpuasa (2 Korintus 6:5; 1:27).
Pengertian baru yang diketengahkan oleh Islam
Pernyataan Tuan Cruden dalam kitab Bible Concordance, bahwa semua umat hanya menjalankan puasa “pada waktu berkabung, dukacita dan kemalangan”, ini diperkuat oleh banyak fakta. Pada umumnya, di kalangan kaum Yahudi, puasa itu dijalankan sebagai tanda berkabung dan dukacita. Misalnya Nabi Dawud dikatakan menjalankan puasa tujuh hari pada waktu puteranya yang masih kecil sakit (Kitab Samuel II, 12:16, 8), demikian pula puasa sebagai tanda berkabung diuraikan dalam Kitab Semuil I, 31:13 dan di tempat lain.
Selain Hari Penebusan, yang oleh syari’at Musa ditetapkan sebagai Hari Puasa (Kitab Imamat Orang Lewi 16:29), yang intinya agar orang-orang merendahkan hatinya dengan berpuasa, sedang para pendeta menebusi mereka agar mereka suci dari dosa. Masih ada lagi beberapa hari puasa yang dipopulerkan setelah Hari Pembuangan, sekedar untuk “memperingati kejadian-kejadian yang menyedihkan tatkala kerajaan Yudah dihancurkan” (En. Br.), di antaranya, ada empat hari puasa yang dijalankan secara tertib, “untuk memperingati permulaan dikepungnya kota Yerusalem, bedahnya kota itu, dihancurkannya Kanisah, dan dibunuhnya Gedaliah” (En. Br.). Jadi sudah menjadi kebiasaan bahwa kesusahan atau peristiwa yang menyedihkan diperingati dengan puasa. Hanya puasa Nabi Musa sebanyak 40 hari, yang teladan ini kelak kemudian diikuti oleh Nabi ‘Isa, ini bukan puasa untuk memperingati dukacita, melainkan puasa yang dijalankan sebagai persiapan untuk menerima wahyu. Agama Kristen tak mengetengahkan pengertian baru tentang puasa. Sabda Yesus Kristus bahwa para murid beliau akan kerap menjalankan puasa setelah beliau mangkat, ini hanya memperkuat pengertian kaum Yahudi tentang puasa yang dihubungkan dengan dukacita dan berkabung.
Agaknya yang menjadi dasarnya pengertian tentang perbuatan orang untuk secara sukarela menjalankan penderitaan dalam bentuk puasa pada waktu terjadi kemalangan dan dukacita, ialah untuk meredakan murka Tuhan dan untuk memohon kasih-sayang-Nya. Agaknya pengertian inilah yang lama kelamaan berkembang menjadi pengertian bahwa puasa adalah perbuatan untuk menebus dosa, karena, orang beranggapan bahwa kemalangan dan malapetaka itu disebabkan karena dosa, dengan demikian puasa merupakan perwujudan lahir adanya perubahan batin dengan jalan tobat.
Hanya dalam agama Islam sajalah puasa berkembang menjadi memiliki arti yang tinggi. Islam menolak samasekali pengertian puasa untuk meredakan murka Tuhan atau memohon kasih sayang Tuhan dengan menjalankan penderitaan secara sukarela; dan sebagai gantinya, Islam mengetengahkan aturan puasa yang harus dijalankan secara teratur dan terus menerus, yang ini sebagai sarana untuk mengembangkan daya-daya batin manusia, seperti halnya shalat, tanpa memandang keadaan orang-seorang atau bangsa, apakah dalam keadaan senang atau susah. Walaupun di dalam Qur’an Suci diuraikan mengenai puasa yang dijalankan sebagai tebusan (fidyah), ini hanyalah merupakan alternatif dari perbuatan kedermawanan, yaitu memberi makan kepada kaum miskin atau memerdekakan budak belian.
Adapun aturan puasa dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen, dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri dari kejahatan (tattaqun)”. Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk pada dirinya (R).
Akan tetapi selain arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham (ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban. Menurut bahasa Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin)” (45:19). “Allah mencintai orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin” (7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang baik” (38:49). Masih banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an Suci, orang muttaqi ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar