BEBERAPA hari lagi, kita akan meninggalkan tahun 2011, lalu memasuki tahun baru 2012 masehi. Fenomena perpindahan tahun ini menjadi momen spesial bagi sebagian besar orang. Dari belahan bumi bagian barat sampai bagian timur, dari utara sampai selatan. Semuanya merayakan detik-detik datangnya tahun baru masehi. Tiupan terompet terdengar di mana-mana, petasan dan kembang api berhamburan menghiasi langit, pesta musik bergemuruh di berbagai tempat. Acara televisi pun semarak dengan nuansa tahun baru. Semua orang berhura-hura dan bergembira ria sepuasnya.
Namun ada fenomena menyedihkan di tengah semaraknya tahun baru itu. Meriahnya tahun baru berbanding lurus dengan meriahnya kemaksiatan di mana-mana. Ada yang berpesta dengan minuman keras, mengonsumsi obat-abatan terlarang, hingga melakukan pergaulan bebas di malam itu. Hal ini adalah sebuah keprihatinan bagi masyarakat Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim. Sungguh bisa menjadi cermin buruk bagi negeri Muslim lainnya. Apalagi akhir-akhir ini kerusakan moral bangsa ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Jajaran Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri pada 25 Oktober 2011 silam menangkap pengirim dan penerima paket daun ganja asal Aceh seberat 50 kilogram senilai Rp 125 juta. Daun ganja yang dikemas dalam dua peti kayu dan menggunakan jasa pengiriman atau ekspedisi itu diduga dipasok dari Aceh untuk malam Tahun Baru 2012 di Jakarta dan beberapa tempat lainnya.(www.tribunnews.com)
Bukan hal yang aneh. Menjelang pesta pergantian tahun 2010/2011, dikabarkan permintaan alat kontrasepsi khususnya kondom di sejumlah daerah ludes diborong. Di beberapa apotik di Yogyakarta pasokan kondom mengalami peningkatan yang cukup tajam. Bahkan, salah satu apotek di kawasan jalan Yogya-Parangtritis mengalami peningkatan permintaan hingga 100 persen. (suaramerdeka.com, 01 Januari 2011).
Data-data di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Maka dari itu, adanya perayaan malam tahun baru akan semakin menambah daftar panjang kasus kerusakan moral di negeri ini. Sangat mungkin terjadi banyak pasangan muda rela melepaskan kehormatannya hanya demi merayakan fenomena tahun baru masehi. Hal ini mesti menjadi perhatian kita bersama, baik bagi orang tua, guru, ulama, pemerintah, dan lainnya.
Sekilas Sejarah
Ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah lahirnya tahun baru masehi. Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. (http://id.wikipedia.org)
Januarius (januari) dipilih sebagai bulan pertama karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi bernama “Janus”, yaitu dewa yang bermuka dua. Satu muka menghadap ke depan dan satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus konon adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru. Kedua, karena 1 Januari jatuh pada masa puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan consul diadakan, karena semua aktifitas umumnya libur dan semua senat dapat berkumpul untuk memilih konsul. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru.
Penjelasan di atas sangat jelas membuktikan bahwa tahun baru masehi berasal dari tradisi Barat. Tentu sangat aneh jika kaum Muslim yang memiliki tradisi Islam ikut membaur dalam perayaan itu. Padahal Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah mewanti-wanti kepada umatnya agar tidak mengikuti tradisi agama lain.
Beliau bersabda: "Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian selangkah-demi selangkah, hingga kalian masuk lubang biawak sekalipun kalian akan ikut memasukinya". Para sahabat bertanya: "Maksudnya Yahudi dan Nasrani?. Lalu siapa lagi." jawab Rasulullah. (HR Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziiro’ (hasta) serta lubang dhob, adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum Muslim sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum Muslim mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau (Nabi saw) ini adalah suatu mukjizat bagi beliau, karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Imam Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/220)
Dalam hadits lain disebutkan, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Hadits ini –yang paling ringan- menuntut pengharaman tasyabbuh (menyerupai) mereka, walaupun dzahirnya mengkafirkan orang yang menyerupai mereka seperti dalam firman Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى);
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِي
“Siapa di antara kamu yang berloyal kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).”
Dalam ayat lain disebutkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi aulia' (teman-teman setia) yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus." (QS: Al Mumtahanah: 1)
Dengan penjelasan ini, jika tradisi dari Barat itu baik dan konstruktif tidak masalah, seperti mengikuti kemajuan teknologi mereka, namun yang diikuti adalah jelas-jelas hal-hal yang menimbulkan kerusakan moral, terutama bagi generasi muda.
Dalam malam tahun baru itu, pasti tidak bisa dipisahkan dengan berpesta-pora, berikhtilat (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan. Bisa juga diselingi menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, melakukan kemubadziran dengan menyalakan petasan dan kembang api, dan masih banyak hal-hal dekstruktif yang ujungnya dikategorikan pada maksiat.
Hal-hal tersebut di atas sangat jelas bertolak belakang dengan apa yang diajarkan Islam.
Untuk itu, umat Islam hendaknya lebih cerdas dan bijak dalam menyikapi hal-hal yang berasal dari tradisi asing.
Marilah kita mulai pada diri kita untuk berfikir lebih cerdas. Apakah semua tradisi budaya itu membawa kemanfaatan atau malah membuat kerusakan pada diri, keluarga, teman atau anak-anak kita. Jika memang membawa kemaslahatan bisa kita ambil, namun jika ternyata hanya membawa kerusakan, maka harus kita dibuang sejauh-jauhnya. Maka tak ada salahnya saya ucapkan, tinggalkanlah tradisi Tahun Baru-an, jika ternyata lebih banyak merusak dari pada memberikan manfaat!. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar